Dalam kasus yang mirip adegan film hacker, seorang programmer kini terancam hukuman 10 tahun penjara setelah diduga memasang kode perusak (kill switch) di sistem mantan perusahaannya. Aksi balas dendam ini berujung chaos: sistem internal perusahaan lumpuh total, data penting hilang, dan operasional bisnis terhenti berhari-hari.
Dari PHK ke Kekacauan Digital
Menurut dokumen pengadilan, sang programmer—yang identitasnya dirahasiakan—diberhentikan secara mendadak dari posisinya sebagai pengembang perangkat lunak senior. Alih-alih menyerahkan akses administratif dengan baik, ia diam-diam menyisipkan skrip jahat yang diaktifkan remote ke dalam infrastruktur perusahaan.
“Kill switch ini dirancang canggih. Begitu ia di-PHK, seluruh server langsung crash dan database terenkripsi dengan kunci yang hanya ia miliki,” jelas seorang sumber dekat tim forensik TI perusahaan. Upaya pemulihan butuh waktu 72 jam dan biaya ratusan ribu dolar.
Balas Dendam atau Kecerobohan?
Di sidang pengadilan, terdakwa mengklaim kode tersebut awalnya dibuat sebagai “sistem keamanan darurat” untuk melindungi data dari peretasan. Namun, jaksa menuding ini alasan mengada-ada. “Ini sabotase terencana. Log aktivitas menunjukkan ia mengubah kode itu tepat sehari sebelum pemberhentiannya,” papar jaksa penuntut.
Jika terbukti bersalah, programmer ini bisa menjadi contoh kasus cybercrime dengan hukuman terberat di yurisdiksi tersebut. Undang-undang setempat mengancam pelaku perusakan digital dengan kurungan 2-10 tahun—tergantung tingkat kerugian.
Dilema Etika di Dunia TI
Kasus ini memantik perdebatan panas di komunitas IT. Sebagian mengutuk aksinya sebagai pelanggaran etika profesi. “Programmer punya akses ke crown jewels perusahaan. Menyalahgunakan itu seperti pengkhianatan,” kata CTO sebuah startup cybersecurity.
Di sisi lain, ada yang menyoroti praktik PHK sepihak perusahaan. “Ini peringatan bagi perusahaan untuk memperlakukan karyawan dengan adil, terutama yang punya akses krusial,” komentar pengacara hak digital.
Pelajaran Pahit untuk Industri Teknologi
Insiden ini menyisakan pertanyaan besar: sejauh apa perusahaan boleh memantau kode yang ditulis karyawan? Beberapa pakar menyarankan audit rutin dan sistem version control yang ketat. “Perusahaan perlu screening ganda untuk kode yang bisa dieksekusi remote,” saran ahli keamanan siber.
Sementara itu, para programmer diingatkan: balas dendam digital bukan hanya merugikan—tapi juga mengubah hidupmu dari coding di kantor ke coding di balik terali besi.